Jihad adalah salah satu syariat Islam yang mulia. Banyak berkah
ketika Allah memberkahi umat ini dengan adanya medan jihad yang nyata.
Yakni perang melawan musuh Islam.
Bisa disebut bahwa persatuan umat mudah terbangun ketika Allah menurunkan berkah jihad itu. Pada masa konflik Ambon misalnya, banyak elemen umat Islam dari kelompok yang berbeda bisa bersatu melawan musuh.
Perselisihan itu justru muncul ketika umat Islam secara umum hidup dalam kenyamanan dan kenikmatan berdagang. Maka tidak salah ketika Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kapan pun umat ini berjihad, niscaya Allah akan melembutkan hatiti mereka, dan kapan pun mereka meninggalkan jihad maka sebagian mereka akan sibuk (menyalahkan) sebagian yang lain.”
Ungkapan tersebut terbukti di lapangan dan memang demikianlah Allah menghendaki ujian bagi hamba-hamba-Nya yang terpilih.
Jihad tidak cukup diyakini dan dipraktikkan sekali, lalu berhenti dan beralih ke pilihan lainnya. Orang yang istiqamah di jalan jihad juga bukanlah orang yang pernah berjihad, lalu disebut-sebut sebagai mantan pejuang Afghan, misalnya. Bukan itu bila ia mengganti keyakinannya atau bahkan menghujat sesama kawan perjuangannya.
Jalan yang Tidak Mudah
Sunnatullah yang berlaku dalam perjuangan iqaamatuddiin telah jelas dalam nash-nash syar’i. Begitu pula gambarannya, telah nyata dalam realita sejarah. Kita tak mungkin mengangankan sebuah ‘kenikmatan’ yang memanjakan perasaan manusiawi manakala menapaki jalan jihad. Kita pun harus siap dengan segenap konsekuensi hidup yang harus dihadapi. Ada beragam cobaan dan ujian yang menghajatkan pengorbanan. Tak hanya harta, waktu, tenaga yang terkuras, bahkan terkadang jiwa menjadi taruhannya.
Meski demikian, ada kenikmatan lain yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang pernah merasakannya. Tidak juga bagi yang hanya menghabiskan berlembar-lembar buku untuk mengetahui jalan kemuliaan ini. Sekali-kali tidak, mereka takkan pernah sampai pada hakikatnya.
Karena istimewanya jalan jihad dan perjuangan ini, maka hanya sedikit yang sanggup menanggung kepayahannya – hatta ya’tiyakal yaqiin (hingga datang ajal menjemput Anda).
Demikian pula, musuh-musuh Islam begitu paranoid ingin menghapusnya dari kehidupan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara dan konspirasi. Sebagaimana yang terjadi hari ini, istiqamah di atasnya menjadi kenyataan terpahit dan tersulit, layaknya menggenggam bara yang panas. Sungguh hanya karena taufik dan rahmat Allah semata seseorang berada di atas jalan ini. Bukan murni keinginan, apalagi kecenderungannya. Selalu memperbarui keimanan adalah tuntutannya. Ibarat tanaman, ia akan layu dan bertambah layu hingga akhirnya mati jika tak selalu dirawat dan disirami.
Medan jihad membutuhkan pribadi-pribadi istimewa yang tangguh, yang senantiasa sadar dan siaga bagaimana pun yang dituntut darinya.
Tuntutan berjihad, tuntutan berhijrah, tuntutan untuk memberikan pembelaan dan perlindungan kepada saudaranya Mujahid (al-iwa’ wan nushrah) adalah ruang-ruang ibadah yang sama bagi seorang Mujahid, sehingga dengan ringan ia penuhi kewajibannya, sesuai dengan kesanggupannya.
Dua Sisi Perjuangan
Allah ta’ala berfirman:
Kedua ayat tersebut memberikan gambaran nyata bahwa keadaan yang melingkupi seorang Mukmin Mujahid ibarat dua sisi mata uang yang tak pernah lepas satu dengan yang lainnya. Ini berlaku sama bagi Muhajir dan Anshar. Setiap pihak harus siap dan melatih untuk bertindak seperti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dari kalangan Muhajirin dan Anshar, yaitu kesiapan untuk selalu menjadi pembela dan pelindung bagi saudaranya sesama Muslim.
Ya, karena setiap ujian dalam iqamatuddien adalah berat dan melelahkan bagi jiwa. Namun keberadaan para Anshar niscaya menjadi obat yang meringankan dan mengokohkan pijakan kaki yang lemah. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu ‘anhum juga tak lepas dari bala’ yang menimpa mereka dalam iqamatuddien.
Karena memang inilah sunnatullah yang menjadi madrasah pengokoh iman dan tamhis (penyaring) yang hanya menyisakan mereka yang tulus imannya. Karakter ini harus ada dalam setiap pribadi yang mengemban tanggung jawab iqaamatuddiin. Sebuah karakter yang lahir dari kelembutan dan kepekaan hati seorang mukmin yang memiliki sifat ‘ruhamaau bainahum’ sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
Karakter istimewa ini (pembela dan pelindung) merupakan konsekuensi logis dari ukhuwah yang terjalin antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya, apa pun jenisnya, di mana pun tempat tinggalnya dan apa pun warna kulitnya. Ia harus melindungi dan menolong saudaranya, membela kehormatannya, menjaga keharaman darahnya dengan seluruh jiwa dan hartanya.
Seluruh umat Islam adalah kehidupannya. Setiap hembusan nafasnya adalah nafas yang sama keluar dari dirinya. Air mata dan jerit tangisnya menorehkan kepedihan dan luka yang dalam di hatinya. Rasa sakitnya juga turut menjalari seluruh anggota tubuhnya. Ya, karena seharusnya seluruh umat Islam seperti satu tubuh satu dengan lainnya sebagaimana banyak dimisalkan dalam sabda Nabi-Nya.
Nu’man bin Basyir rRadhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
Menjadi Sebab Kekuatan
Bersatunya umat yang ditegakkan di atas pilar-pilar yang kokoh adalah wujud kekuatan riil yang dapat menggentarkan musuh-musuh Islam. Kekuatan itu bukan semata bertumpu kuantitas, namun ikatan yang menautkan jalinan antara mereka adalah intinya. Kuatnya hubungan mereka, sikap tolong-menolong di antara mereka, kedekatan, loyalitas, kecintaan, kasih sayang dan keterkaitan dalam urusan mereka yang menyempurnakan keadaan mereka seperti satu tubuh. Abu Musa radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
Ini idealnya, namun dalam setiap hubungan selalu ada badai yang dihembuskan setan untuk menghancurkan dan memorak-porandakan jalinannya. Badai itu bisa muncul awalnya di dalam hati, perkataan maupun perbuatan. Perasaan benci, iri hati, tidak puas, perbedaan pendapat dan perselisihan bisa menjadi sumbernya. Semoga Allah menjauhkan kita dari sebab-sebab keminderan dan hilangnya kekuatan.
Allah Ta’ala berfirman:
Semua badai ini hanya dapat kita atasi –bi idznillah– dengan seluruh daya upaya yang kita maksimalkan dalam ibadah jihad beserta seluruh rangkaiannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Kiblat.net
Bisa disebut bahwa persatuan umat mudah terbangun ketika Allah menurunkan berkah jihad itu. Pada masa konflik Ambon misalnya, banyak elemen umat Islam dari kelompok yang berbeda bisa bersatu melawan musuh.
Perselisihan itu justru muncul ketika umat Islam secara umum hidup dalam kenyamanan dan kenikmatan berdagang. Maka tidak salah ketika Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kapan pun umat ini berjihad, niscaya Allah akan melembutkan hatiti mereka, dan kapan pun mereka meninggalkan jihad maka sebagian mereka akan sibuk (menyalahkan) sebagian yang lain.”
Ungkapan tersebut terbukti di lapangan dan memang demikianlah Allah menghendaki ujian bagi hamba-hamba-Nya yang terpilih.
Jihad tidak cukup diyakini dan dipraktikkan sekali, lalu berhenti dan beralih ke pilihan lainnya. Orang yang istiqamah di jalan jihad juga bukanlah orang yang pernah berjihad, lalu disebut-sebut sebagai mantan pejuang Afghan, misalnya. Bukan itu bila ia mengganti keyakinannya atau bahkan menghujat sesama kawan perjuangannya.
Jalan yang Tidak Mudah
Sunnatullah yang berlaku dalam perjuangan iqaamatuddiin telah jelas dalam nash-nash syar’i. Begitu pula gambarannya, telah nyata dalam realita sejarah. Kita tak mungkin mengangankan sebuah ‘kenikmatan’ yang memanjakan perasaan manusiawi manakala menapaki jalan jihad. Kita pun harus siap dengan segenap konsekuensi hidup yang harus dihadapi. Ada beragam cobaan dan ujian yang menghajatkan pengorbanan. Tak hanya harta, waktu, tenaga yang terkuras, bahkan terkadang jiwa menjadi taruhannya.
Meski demikian, ada kenikmatan lain yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang pernah merasakannya. Tidak juga bagi yang hanya menghabiskan berlembar-lembar buku untuk mengetahui jalan kemuliaan ini. Sekali-kali tidak, mereka takkan pernah sampai pada hakikatnya.
Karena istimewanya jalan jihad dan perjuangan ini, maka hanya sedikit yang sanggup menanggung kepayahannya – hatta ya’tiyakal yaqiin (hingga datang ajal menjemput Anda).
Demikian pula, musuh-musuh Islam begitu paranoid ingin menghapusnya dari kehidupan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara dan konspirasi. Sebagaimana yang terjadi hari ini, istiqamah di atasnya menjadi kenyataan terpahit dan tersulit, layaknya menggenggam bara yang panas. Sungguh hanya karena taufik dan rahmat Allah semata seseorang berada di atas jalan ini. Bukan murni keinginan, apalagi kecenderungannya. Selalu memperbarui keimanan adalah tuntutannya. Ibarat tanaman, ia akan layu dan bertambah layu hingga akhirnya mati jika tak selalu dirawat dan disirami.
Medan jihad membutuhkan pribadi-pribadi istimewa yang tangguh, yang senantiasa sadar dan siaga bagaimana pun yang dituntut darinya.
Tuntutan berjihad, tuntutan berhijrah, tuntutan untuk memberikan pembelaan dan perlindungan kepada saudaranya Mujahid (al-iwa’ wan nushrah) adalah ruang-ruang ibadah yang sama bagi seorang Mujahid, sehingga dengan ringan ia penuhi kewajibannya, sesuai dengan kesanggupannya.
Dua Sisi Perjuangan
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ
شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ
فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ
مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang
memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang
muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada
kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka
berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam
(urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” ( Al-Anfaal: 72)
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada
jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang
yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat)
yang mulia.” (Al- Anfaal: 74)Kedua ayat tersebut memberikan gambaran nyata bahwa keadaan yang melingkupi seorang Mukmin Mujahid ibarat dua sisi mata uang yang tak pernah lepas satu dengan yang lainnya. Ini berlaku sama bagi Muhajir dan Anshar. Setiap pihak harus siap dan melatih untuk bertindak seperti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dari kalangan Muhajirin dan Anshar, yaitu kesiapan untuk selalu menjadi pembela dan pelindung bagi saudaranya sesama Muslim.
Ya, karena setiap ujian dalam iqamatuddien adalah berat dan melelahkan bagi jiwa. Namun keberadaan para Anshar niscaya menjadi obat yang meringankan dan mengokohkan pijakan kaki yang lemah. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu ‘anhum juga tak lepas dari bala’ yang menimpa mereka dalam iqamatuddien.
Karena memang inilah sunnatullah yang menjadi madrasah pengokoh iman dan tamhis (penyaring) yang hanya menyisakan mereka yang tulus imannya. Karakter ini harus ada dalam setiap pribadi yang mengemban tanggung jawab iqaamatuddiin. Sebuah karakter yang lahir dari kelembutan dan kepekaan hati seorang mukmin yang memiliki sifat ‘ruhamaau bainahum’ sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ
رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي
التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ
فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia
Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya
maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan
tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)Karakter istimewa ini (pembela dan pelindung) merupakan konsekuensi logis dari ukhuwah yang terjalin antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya, apa pun jenisnya, di mana pun tempat tinggalnya dan apa pun warna kulitnya. Ia harus melindungi dan menolong saudaranya, membela kehormatannya, menjaga keharaman darahnya dengan seluruh jiwa dan hartanya.
Seluruh umat Islam adalah kehidupannya. Setiap hembusan nafasnya adalah nafas yang sama keluar dari dirinya. Air mata dan jerit tangisnya menorehkan kepedihan dan luka yang dalam di hatinya. Rasa sakitnya juga turut menjalari seluruh anggota tubuhnya. Ya, karena seharusnya seluruh umat Islam seperti satu tubuh satu dengan lainnya sebagaimana banyak dimisalkan dalam sabda Nabi-Nya.
Nu’man bin Basyir rRadhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَثَلُ المُؤْمِنينَ في تَوَادِّهِمْ
وتَرَاحُمهمْ وَتَعَاطُفِهمْ ، مَثَلُ الجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ
عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الجَسَدِ بِالسَّهَرِ والحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih,
saling menyayang dan saling mencintai adalah seperti satu tubuh,
jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota
tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam.” (HR. Mutafaq Alaih)Menjadi Sebab Kekuatan
Bersatunya umat yang ditegakkan di atas pilar-pilar yang kokoh adalah wujud kekuatan riil yang dapat menggentarkan musuh-musuh Islam. Kekuatan itu bukan semata bertumpu kuantitas, namun ikatan yang menautkan jalinan antara mereka adalah intinya. Kuatnya hubungan mereka, sikap tolong-menolong di antara mereka, kedekatan, loyalitas, kecintaan, kasih sayang dan keterkaitan dalam urusan mereka yang menyempurnakan keadaan mereka seperti satu tubuh. Abu Musa radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
المُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضَاً
“Seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang kuat yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).Ini idealnya, namun dalam setiap hubungan selalu ada badai yang dihembuskan setan untuk menghancurkan dan memorak-porandakan jalinannya. Badai itu bisa muncul awalnya di dalam hati, perkataan maupun perbuatan. Perasaan benci, iri hati, tidak puas, perbedaan pendapat dan perselisihan bisa menjadi sumbernya. Semoga Allah menjauhkan kita dari sebab-sebab keminderan dan hilangnya kekuatan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.” (Al-Anfal: 46)Semua badai ini hanya dapat kita atasi –bi idznillah– dengan seluruh daya upaya yang kita maksimalkan dalam ibadah jihad beserta seluruh rangkaiannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Kiblat.net
Tag :
Fikrah Islam
0 Komentar untuk "Bertahan, atau Gagal di Jalan Jihad yang Panjang"